" target=" blank">

 

Wednesday, December 21, 2011

Lukisan Oei Hong Djien Berubah Bentuk

0 comments
MERATAPMU | DUA pria sepuh itu asyik mengamati sebuah lukisan tua tanpa tahun. Di sudut lain, beberapa orang sibuk berfoto di depan lukisan seorang gadis Bali setengah telanjang. Puluhan orang berkeliling mengamati tiap lukisan yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta.

Sumber pesona itu adalah lukisan-lukisan milik Dr Oei Hong Djien atau yang juga akrab disapa OHD. Pria berusia 72 tahun ini memang memindahkan 69 lukisan dan beberapa patung koleksinya untuk dipamerkan pada khalayak umum hingga Kamis lusa.

Inilah pertama kali dia memamerkan koleksinya di luar museum miliknya di Jalan Pangeran Diponegoro 74, Magelang, Jawa Tengah.

Jelas ini pameran yang istimewa. Sebab, lukisan yang ada di pameran ini merupakan lukisan mahal karya maestro seni negeri ini. Banyak yang mengomentari keberaniannya itu.

Namun, OHD santai saja. “Kalau tidak nekat, ya, kita tidak ke mana-mana. Soal risiko, ya, semua ada risiko. Naik mobil juga berisiko,” ujar Dr Oei di sela acara pembukaan pameran, Kamis dua pekan silam.

Pameran ini ia tujukan untuk menularkan pengetahuan tentang karya seni yang baik kepada masyarakat. Selain itu, sebenarnya dia ingin agar kolektor lainnya tergerak melakukan hal yang sama: memamerkan koleksinya. “Kalau enggak dipancing, bagaimana mungkin orang melihat perkembangan seni rupa Indonesia,” ujarnya.

Di jagat seni lukis di Tanah Air, OHD merupakan sosok penting. Meski seorang dokter, ia memiliki koleksi lukisan dari seniman besar Indonesia. Koleksinya mencapai lebih dari 2.000 karya seni lukis, patung indoor-outdoor, karya instalasi, dan keramik.

Koleksi itu tidak hanya dari pelukis kondang, seperti Raden Saleh, Affandi, Basuki Abdullah, dan Sudjojono, tapi juga dari mereka yang tergolong seniman kontemporer, seperti Tisna Sanjaya, Eko Nugroho, Agus Suwage, dan Ugo Untoro.

Semua koleksinya, yang mulai dikumpulkannya sejak 25 tahun lalu, itu ia simpan di museum pribadinya di Magelang, yang mulai dibuka pada 1997. Dia juga memiliki koleksi lain yang dititipkan di Museum Seni Singapura. “Hanya beberapa saja, tak sebanyak pameran ini.”

Ketertarikannya pada dunia seni dimulai saat dia masih anak-anak melalui orang tuanya. Rasa kesukaannya pada lukisan perlahan-lahan mulai terlampiaskan saat dia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Saat itu, dia mulai senang bertandang dari satu galeri ke galeri lain atau ke pameran-pameran lukisan. Pria berkacamata ini makin terpuaskan saat kuliah ilmu kedokteran di Catholic University di Nijmengen, Belanda.

Di sana, wawasannya tentang seni kian luas setelah mengikuti berbagai seminar tentang karya seni. Dari sanalah kemudian dia mengenal dan mengetahui seni lukis yang berkualitas.

Lokasi rumahnya yang di Magelang memudahkan aksesnya ke pusat seni di Yogyakarta dan Borobudur. Dia pun mengenal maestro Widayat secara dekat. Begitu juga Affandi dan pelukis lainnya.

Keakraban dengan para pelukis membuatnya mudah diterima di lingkungan ini. Pergaulannya dengan para pelukis mampu membuatnya mengetahui lukisan yang tepat dan berkualitas.

Suka-duka berburu banyak dirasakan. Banyak godaan, tantangan, menyerempet bahaya. Kadang, begitu ada lukisan atau karya seni yang ditawarkan, biasanya Dr Oei akan langsung meninggalkan pekerjaannya. “Memang banyak menyita waktu, tapi apa boleh buat,” ujarnya. Tetapi kepuasan akan terbayar setelah mendapatkan karya yang diburu.

Satu perburuan yang takkan dilupakannya adalah perjalanannya ke Rio de Janeiro, Brasil, pada 1994. “Perjalanan terjauh dan sangat menakjubkan.” Dalam perburuan itu dia memboyong pulang 30 lukisan, yang menjadi koleksi penggila seni di sana.

Lima lukisan di antaranya adalah karya S. Sudjojono, Rose Doing the Laundry; Rusli, Balinese Dancer; But Muchtar, Dancer; Mochtar Apin, Reclining Nude at the Beach; dan Suhadi, Funeral Procession in Javanese Village.

Tak semua lukisan itu ditukar dengan harga mahal. Ada pula koleksi yang diberi dengan harga murah atau bahkan diberikan langsung oleh si pelukis. Dan ada karya seni yang datang dari seseorang.

Kini, Dr Oei merasa telah melampaui waktu perburuan. Bahkan telah datang waktu menjadi buron. Banyak orang mencarinya, menawarkan berbagai karya seni.

Ternyata tak sulit bagi Oei mendapatkan koleksi yang dianggapnya bagus. Tipnya, “Beli yang Anda suka dan yang bikin greng ngrenyem seperti disengat listrik,” ujarnya. Rupanya, tip itu didapatkan dari maestro Widayat.

“Sengatan” tersebut ternyata datang malam itu. Di tengah keramaian, seorang mendekatinya sambil menunjuk foto dalam katalog, berupa lukisan dua orang lelaki karya Kusnadi yang tanpa judul. “Ini nama Isnaini, ini saya,” ujar Mulyadi, 74 tahun.

OHD pun menyambut gembira. “Wah terima kasih. Nah, kan jadi tambah lagi. Lukisan ini saya dapat langsung dari Pak Kusnadi,” ujarnya, semringah. DIAN YULIASTUTI
DUA pria sepuh itu asyik mengamati sebuah lukisan tua tanpa tahun. Di sudut lain, beberapa orang sibuk berfoto di depan lukisan seorang gadis Bali setengah telanjang. Puluhan orang berkeliling mengamati tiap lukisan yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta.

Sumber pesona itu adalah lukisan-lukisan milik Dr Oei Hong Djien atau yang juga akrab disapa OHD. Pria berusia 72 tahun ini memang memindahkan 69 lukisan dan beberapa patung koleksinya untuk dipamerkan pada khalayak umum hingga Kamis lusa.

Inilah pertama kali dia memamerkan koleksinya di luar museum miliknya di Jalan Pangeran Diponegoro 74, Magelang, Jawa Tengah.

Jelas ini pameran yang istimewa. Sebab, lukisan yang ada di pameran ini merupakan lukisan mahal karya maestro seni negeri ini. Banyak yang mengomentari keberaniannya itu.

Namun, OHD santai saja. “Kalau tidak nekat, ya, kita tidak ke mana-mana. Soal risiko, ya, semua ada risiko. Naik mobil juga berisiko,” ujar Dr Oei di sela acara pembukaan pameran, Kamis dua pekan silam.

Pameran ini ia tujukan untuk menularkan pengetahuan tentang karya seni yang baik kepada masyarakat. Selain itu, sebenarnya dia ingin agar kolektor lainnya tergerak melakukan hal yang sama: memamerkan koleksinya. “Kalau enggak dipancing, bagaimana mungkin orang melihat perkembangan seni rupa Indonesia,” ujarnya.

Di jagat seni lukis di Tanah Air, OHD merupakan sosok penting. Meski seorang dokter, ia memiliki koleksi lukisan dari seniman besar Indonesia. Koleksinya mencapai lebih dari 2.000 karya seni lukis, patung indoor-outdoor, karya instalasi, dan keramik.

Koleksi itu tidak hanya dari pelukis kondang, seperti Raden Saleh, Affandi, Basuki Abdullah, dan Sudjojono, tapi juga dari mereka yang tergolong seniman kontemporer, seperti Tisna Sanjaya, Eko Nugroho, Agus Suwage, dan Ugo Untoro.

Semua koleksinya, yang mulai dikumpulkannya sejak 25 tahun lalu, itu ia simpan di museum pribadinya di Magelang, yang mulai dibuka pada 1997. Dia juga memiliki koleksi lain yang dititipkan di Museum Seni Singapura. “Hanya beberapa saja, tak sebanyak pameran ini.”

Ketertarikannya pada dunia seni dimulai saat dia masih anak-anak melalui orang tuanya. Rasa kesukaannya pada lukisan perlahan-lahan mulai terlampiaskan saat dia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Saat itu, dia mulai senang bertandang dari satu galeri ke galeri lain atau ke pameran-pameran lukisan. Pria berkacamata ini makin terpuaskan saat kuliah ilmu kedokteran di Catholic University di Nijmengen, Belanda.

Di sana, wawasannya tentang seni kian luas setelah mengikuti berbagai seminar tentang karya seni. Dari sanalah kemudian dia mengenal dan mengetahui seni lukis yang berkualitas.

Lokasi rumahnya yang di Magelang memudahkan aksesnya ke pusat seni di Yogyakarta dan Borobudur. Dia pun mengenal maestro Widayat secara dekat. Begitu juga Affandi dan pelukis lainnya.

Keakraban dengan para pelukis membuatnya mudah diterima di lingkungan ini. Pergaulannya dengan para pelukis mampu membuatnya mengetahui lukisan yang tepat dan berkualitas.

Suka-duka berburu banyak dirasakan. Banyak godaan, tantangan, menyerempet bahaya. Kadang, begitu ada lukisan atau karya seni yang ditawarkan, biasanya Dr Oei akan langsung meninggalkan pekerjaannya. “Memang banyak menyita waktu, tapi apa boleh buat,” ujarnya. Tetapi kepuasan akan terbayar setelah mendapatkan karya yang diburu.

Satu perburuan yang takkan dilupakannya adalah perjalanannya ke Rio de Janeiro, Brasil, pada 1994. “Perjalanan terjauh dan sangat menakjubkan.” Dalam perburuan itu dia memboyong pulang 30 lukisan, yang menjadi koleksi penggila seni di sana.

Lima lukisan di antaranya adalah karya S. Sudjojono, Rose Doing the Laundry; Rusli, Balinese Dancer; But Muchtar, Dancer; Mochtar Apin, Reclining Nude at the Beach; dan Suhadi, Funeral Procession in Javanese Village.

Tak semua lukisan itu ditukar dengan harga mahal. Ada pula koleksi yang diberi dengan harga murah atau bahkan diberikan langsung oleh si pelukis. Dan ada karya seni yang datang dari seseorang.

Kini, Dr Oei merasa telah melampaui waktu perburuan. Bahkan telah datang waktu menjadi buron. Banyak orang mencarinya, menawarkan berbagai karya seni.

Ternyata tak sulit bagi Oei mendapatkan koleksi yang dianggapnya bagus. Tipnya, “Beli yang Anda suka dan yang bikin greng ngrenyem seperti disengat listrik,” ujarnya. Rupanya, tip itu didapatkan dari maestro Widayat.

“Sengatan” tersebut ternyata datang malam itu. Di tengah keramaian, seorang mendekatinya sambil menunjuk foto dalam katalog, berupa lukisan dua orang lelaki karya Kusnadi yang tanpa judul. “Ini nama Isnaini, ini saya,” ujar Mulyadi, 74 tahun.

OHD pun menyambut gembira. “Wah terima kasih. Nah, kan jadi tambah lagi. Lukisan ini saya dapat langsung dari Pak Kusnadi,” ujarnya, semringah. [ Dian Yuliastuti ]

0 comments:

Post a Comment

 
News PERGAULAN. COM © 2011 Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net Counter Powered by  Counter4me.com
seo keywords